
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan aspek penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan produktif. Berdasarkan Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja, setiap tempat kerja wajib mengidentifikasi dan mengendalikan berbagai potensi bahaya yang dapat mengancam pekerja.
Permenaker tersebut sekaligus mencabut tiga peraturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Perburuhan No. 7 tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan, serta Penerangan di Tempat Kerja, Peraturan Menteri Pekerja Dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Kimia di Tempat Kerja, serta Surat Edaran Menteri Pekerja dan Transmigrasi Nomor SE.01/MEN/1978 tentang Nilai Ambang Batas untuk Iklim Kerja dan Nilai Ambang Batas untuk Kebisingan di Tempat Kerja.
Permenaker No. 5 Tahun 2018 menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) terbaru bagi berbagai faktor bahaya di tempat kerja. Aturan ini tidak hanya menjadi acuan dalam menilai tingkat paparan yang aman, tetapi juga mendorong perusahaan untuk lebih serius mengendalikan risiko lingkungan kerja. Dengan adanya pembaruan NAB, pekerja mendapat perlindungan yang lebih baik terhadap potensi bahaya fisika, kimia, biologi, ergonomi, maupun psikososial, sehingga tercipta lingkungan kerja yang lebih sehat, aman, dan produktif.
Berikut contoh detail terkait jenis-jenis bahaya tersebut:
- Faktor Fisika
Faktor fisika adalah bahaya di tempat kerja yang berasal dari kondisi lingkungan, seperti kebisingan, getaran, radiasi, suhu ekstrem, pencahayaan, dan tekanan udara, yang bila melebihi ambang batas dapat mengganggu kesehatan pekerja.
Contoh: Setiap hari pekerja di area produksi pabrik tekstil terpapar kebisingan mesin, sehingga perlu diperhatikan karena Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan adalah 85 dBA untuk paparan selama 8 jam kerja.
- Faktor Kimia
Faktor kimia adalah bahaya yang berasal dari bahan atau zat kimia di lingkungan kerja, baik dalam bentuk padat, cair, maupun gas. Zat ini dapat masuk ke dalam tubuh pekerja melalui pernapasan, kulit, atau tertelan, dan menimbulkan gangguan kesehatan jika melebihi Nilai Ambang Batas (NAB).
Contoh: Pekerja tambang berisiko terpapar debu silika, dengan Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan sebesar 0,05 mg/m³ untuk rata-rata paparan selama 8 jam kerja.
- Faktor Biologi
Faktor biologi adalah bahaya yang berasal dari makhluk hidup atau mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada pekerja. Bahaya ini dapat berasal dari bakteri, virus, jamur, parasit, maupun hewan pembawa penyakit (vektor).
Contoh: Pekerja gudang berisiko menghirup spora jamur di lingkungan berdebu, dengan Nilai Ambang Batas (NAB) sebesar 1.000 cfu/m³ udara agar tidak menimbulkan gangguan kesehatan.
- Faktor Ergonomi
Faktor ergonomi adalah bahaya yang muncul akibat ketidaksesuaian antara pekerja dengan beban kerja, alat, atau lingkungan kerjanya. Paparan faktor ini biasanya tidak langsung terlihat, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan otot, kelelahan, hingga cedera kerja.
Contoh: Pekerja gudang yang sering mengangkat barang berat berisiko mengalami nyeri punggung, sehingga perlu dikendalikan dengan penggunaan hand pallet, forklift, atau conveyor serta pelatihan teknik angkat yang benar.
- Faktor Psikologi
Faktor psikologi adalah bahaya yang muncul dari kondisi mental, sosial, dan organisasi kerja yang dapat memengaruhi kesehatan serta keselamatan pekerja. Bahaya ini sering kali tidak terlihat secara langsung, tetapi bisa berdampak serius terhadap kesejahteraan, produktivitas, bahkan keselamatan kerja.
Contoh: Sistem shift yang tidak teratur dapat menyebabkan gangguan tidur dan kelelahan, sehingga pengendaliannya dilakukan dengan penjadwalan shift yang adil dan pemberian waktu istirahat yang cukup.
Penerapan Permenaker No. 5 Tahun 2018 bukan sekadar kewajiban, tetapi kunci untuk menciptakan budaya kerja yang aman, sehat, dan produktif. Mari jadikan K3 bagian dari komitmen bersama demi masa depan yang lebih berkelanjutan.
Sumber:

Tinggalkan komentar